Bantaeng, Redaksibaru.id – Tanggal 21 April di Indonesia dirayakan sebagai Hari Kartini atau dikenal juga sebagai Hari Emansipasi Wanita.
Mengapa disebut Hari Kartini? Siapakah Kartini? Seberapa besar peranan Kartini dalam sejarah Indonesia? Mari sedikit mengenang kisah lawas ini terlebih dahulu.
Dalam tulisan-tulisan sejarah diketahui Kartini adalah seorang perempuan dari kalangan bangsawan, Putri seorang Bupati yang lahir di Jawa Tengah. Seorang perempuan di jaman itu yang “melawan” dengan caranya.
Jaman itu, saat di mana ia melihat ketidakadilan perempuan Indonesia, masa-masa pingitan dan pendidikan yang hanya dikenyam perempuan-perempuan bangsawan. Ketidakadilan bahkan terjadi pada dirinya sendiri. Di antaranya saat ia berusia 12 tahun ia mulai dipingit kemudian saat ia dijodohkan dengan seorang Bupati yang sudah pernah beristri sebanyak tiga kali.
Waktu itu pemikiran-pemikiran Kartini yang berwawasan luas, salah satunya mengenai kesetaraan laki-laki dan perempuan secara umum di bidang pendidikan banyak ditentang oleh orang-orang sekitarnya. Nampak dari beberapa kutipan berikut, kalimat dari surat Kartini yang terbit dalam bukunya Habis Gelap Terbitlah Terang.
“Gadis yang pikirannya sudah dicerdaskan, pemandangannya sudah diperluas, tidak akan sanggup lagi hidup di dalam dunia nenek moyangnya.”
“Bukanlah laki-laki yang hendak kami lawan, melainkan pendapat kolot dan adat uang.”
“Alangkah besar bedanya bagi masyarakat Indonesia bila kaum perempuan dididik baik-baik. Dan untuk keperluan perempuan itu sendiri, berharaplah kami dengan harapan yang sangat supaya disediakan pelajaran dan pendidikan, karena inilah yang akan membawa bahagia baginya.”
Sebagaimana diketahui, Kartini menuangkan pikiran dan isi hatinya lewat surat-surat yang ia kirimkan pada sahabatnya di negeri Kincir Angin saat itu.
Lalu, kenapa harus jadi Kartini? Apakah yang sebenarnya diinginkan Kartini?
Saat mengucapkan Selamat Hari Kartini pada tanggal 21 April, apakah kita benar-benar memahami esensinya?
Masihkah kita layak mengucapkan Hari Kartini saat diri kita berada dalam tekanan-tekanan patriarki? Hubungan yang toxic dengan pasangan posesif yang membatasi ruang gerak kita? Bersepaham dengan dunia pingitan? Berleluasa di seputaran semboyan dapur, sumur, kasur? atau hal terkecil, merasa bersalah ketika melihat seorang suami mengerjakan hal-hal domestik yang sederhana semacam mencuci piring atau menyapu di rumah?.
Padahal di sosial media kita sudah merangkai berbait-baik kalimat bijak untuk merayakan Hari Kartini.
Apakah Hari Kartini sebatas selebrasi di sosial media tanpa memahami bagaimana seharusnya Kartini-Kartini saat ini? Mari tersenyum dan menarik nafas, setelah membaca ini semoga kita tidak mengulang sejarah hidup seorang Raden Ajeng Kartini di era saat ini. Yakinlah Kartini tidak menginginkan hal itu terjadi.
Tanggal lahir Raden Ajeng Kartini adalah sebuah wadah untuk refleksi diri, baik perempuan maupun lelaki. Mengingat bagaimana optimismenya, keberaniannya, pola pikir yang luas, tekad dan kemauannya untuk berbuat lebih dan melawan batas norma-norma yang mendiskreditkan hak manusia lain, yakni perempuan.
Sebagai perempuan yang sepatutnya bisa menghargai dirinya sendiri sebagai seorang manusia, memiliki otak dan keterampilan yang sama dengan kaum lelaki. Yang berhak atas pendidikan dan ruang-ruang gerak yang bebas. Yang berhak atas pikiran dan pilihannya sendiri. Yang berhak bersuara saat menemui ketidakadilan dan mengintimidasi dirinya atau membunuh karakternya hanya karena dia seorang manusia berjenis kelamin perempuan. Dan seorang lelaki yang sepantasnya berterima bahwa ia bukanlah satu-satunya manusia di muka bumi yang bisa berdiri sendiri.
Tidak menghargai pendapat perempuan dan menjadikan pola pikirnya sebagai satu-satunya sumber kebenaran hakiki. Terlebih mereka-mereka yang mengecam emansipasi hanya karena gengsi. Atau secara khusus kepada suami-suami yang di luar sana loyal dan royal berbasa-basi soal emansipasi namun di rumah tangganya menyiksa perempuannya sendiri.
Bukan rahasia lagi, sampai detik ini hal ini masih kerap terjadi. Sekali lagi, Hari Kartini bukan selebrasi basa-basi namun hari untuk merefleksi diri. Sudahkah kita memperjuangkan diri kita sendiri?
Berikut beberapa pernyataan yang terangkum dari perempuan-perempuan yang bersuara di Hari Kartini.
Hj Sri Dewi Yanti, S.Sos, M.Si Ketua TP PKK Bantaeng
“Selamat Hari Kartini 2022. Momentum istimewa ini harus membangkitkan semangat kaum perempuan untuk lebih berani berbicara dan menunjukkan potensinya, semakin berdaya membangun kesetaraan dan kehidupan yang sejahtera serta inovatif berkontribusi bagi kemajuan bangsa. Setiap wanita memiliki kesempatan untuk berprestasi. Jadilah seperti Kartini yang selalu bersinar dengan karyanya, karena kemajuan perempuan adalah faktor penting peradaban bangsa”
Andi Sukmawati, Kabid Humas Diskominfo SP Bantaeng
“Memaknai peringatan hari kartini, menjadi momentum memahami dan mengaktualisasikan sejauh mana perempuan-perempuan bisa menunjukkan eksistensinya dalam kiprahnya baik dalam pergumulan kehidupan sosial dunia kerja, rumah tangga dan adaptasi sosial sehari-hari dalam bermasyarakat. sehingga bisa menempatkan diri sesuai porsi dan kodrat dan tampil menjadi sosok permpuan cerdas dalam berkomunikasi verbal dan no verbal dalam kehidupan sehari- hari dalam semua aspek kehidupan. Selamat memperingati hari Kartini untuk seluruh perempuan-perempuan tangguh”
Sunarti Sain, Direktur Harian Radar Selatan
“Ada makna besar yang harus dimengerti oleh perempuan kenapa Hari Kartini perlu dirayakan. Kartini dikenal dan menjadi pelopor emansipasi pada zamannya karena ia menulis. Kartini menuliskan gagasan, pikiran-pikirannya melalui surat-surat yang ia kirim ke sahabat-sahabatnya. Kutipan surat-surat Kartini inilah yang mestinya dijelaskan kepada perempuan-perempuan saat ini bahwa betapa majunya pemikiran Kartini yang menjadi penyemangat perempuan di zamannya. Sayangnya cerita soal surat-surat Kartini ini tidak banyak diketahui masyarakat. Sebagian kita hanya mengidentikkan Kartini dengan simbol kebaya dan konde. Padahal Kartini lebih dari itu. Kartini versi sekarang harus mampu membaca berbagai perubahan yang terjadi. Berpikir kritis dan menguasai teknologi. Berani menyuarakan pikiran dan menginspirasi banyak orang”
Siti Khadijah Budiawan, Perempuan Indonesia
“Hari Kartini menurut saya adalah momentum merefleksi diri. Bukan menjiplak konde dan kebaya Kartini tapi lebih kepada etos kerja, semangat perjuangan, semangat belajar seorang perempuan. Terkhusus kepada gerakan-gerakan perempuan saat ini, momentum Hari Kartini seharusnya dijadikan sebagai wadah untuk merefleksi kembali arah gerakan perjuangan seorang Kartini. Seperti yang kita lihat saat ini, misalnya dalam suatu kesempatan berkespresi perempuan sudah mendapatkan ruangnya untuk bersuara dan menyampaikan aspirasi. Hanya saja hal itu dibumbui dengan adegan-adegan atau meme-meme yang mengarah pada hal-hal yang justru menjadikannya objek seksis. Dan tentu saja ini kembali mencederai esensi perjuangan karena orang-orang tidak berfokus pada tujuan dari aspirasi melainkan hal seksis tadi”
Ifa Musdalifa, Jurnalis Metro TV
“Kartini itu ketika kita mampu untuk mandiri, tidak bergantung kepada orang lain. Selain itu Kartini itu juga harusnya mampu bersuara melawan penindasan dan ketidak adilan”
Nurhikmah, ibu rumah tangga (Make-Up Artist)
“Hari Kartini bukanlah tentang ingin menjadi Kartini, tetapi bagaimana meniru semangat seorang Kartini”
Ira, Ketua LPI
“Habis gelap terbitlah terang. Ini menunjukkan bahwa wanita adalah selain menjadi tiang negara namun mampu menjadi penerang bagi bangsa. Berkat perjuangan Kartini perempuan bukan lagi sosok yang hanya berdiam di rumah, mengurus suami dan anak. Perempuan Indonesia bisa menjadi apa saja yang positif dan berkontribusi bagi kemajuan bangsa. Kartini menjadi panutan terutama di bidang pendidikan. Maka sepantasnya ketika pendidikan menjadi segala-galanya.”
Semoga tulisan ini mampu menjadi pengantar dan perantara untuk saling menebar semangat. Juga menemukan jawaban, kenapa harus menjadi Kartini. Selamat Hari Kartini. []