Mengulik Pesan dan Makna Puisi di Pementasan Denting IV, FBS UNM

IMG WA
IMG WA

Redaksibaru.id – Dua puisi dipentaskan dalam Denting IV Bengkel Sastra () Dewan (DEMA) Jurusan Bahasa dan Sastra (JBSI) Fakultas Bahasa dan Sastra (FBS) Universitas Negeri (). Pagelaran bertajuk Denting IV Still Here! itu, digelar di Hall A.P. Pettarani UNM, Sabtu (11/3).

Kedua puisi yang dipentaskan berjudul di Ujung Rambut dan Syair Jelata. Puisi-puisi ini dipilih untuk menggambarkan ketidakpedulian dan ketidakberdayaan masyarakat sekitar dan pemerintahan setempat.

Kedua puisi tersebut merupakan karya Syahrul Bahrun yang merupakan pemangku adat sastra Bengkel Sastra Periode 2021-2023.

Kata Mahasiwa angkatan 2019 itu, kedua puisi karyanya diharapkan bisa menggugah masyarakat agar sadar akan berbagai persoalan kemanusiaan yang ada.

Advertising
Advertisements

“Harapan dari kedua puisi tersebut agar pendengar atau penikmatnya tergugah dan sadar akan masalah kemanusiaan yang sudah semakin genting,” jelas dia.

Penampilan puisi di Ujung Rambut dibawakan oleh Indahsari dan Mely Sandi. Penampilan puisi ini mengangkat kejadian-kejadian tak senonoh yang marak terjadi pada perempuan dulu hingga saat ini.

Dalam puisi tersebut, terdapat dua sisi karakter dengan sudut pandang aku. Karakter pertama tentang perempuan yang tidak menerima keadaan namun hanya bisa pasrah.

Sedangkan karakter kedua kebalikan dari karakter pertama, dia adalah perempuan yang hatinya menaruh dendam hingga pada akhirnya justru memberontak akan keadaan yang dialaminya.

Sementara puisi Syair Jelata dibawakan oleh Muh Arfan dan Anamalika, mengangkat masyarakat terpelajar tentang fenomena ketimpangan sosial.

Di antaranya kelaparan dan kemiskinan yang terjadi saat ini, serta mempertanyakan peran dari masyarakat dan melihat berbagai permasalahan yang terjadi.

Penggarap kedua pementasan puisi ini, Muhammad Hidayat mengungkapkan bahwa konsep yang disajikan yakni penggambaran atas tidak berdayanya seorang perempuan atas kekerasan seksual yang kerap terjadi sejak dahulu hingga kini.

BACA JUGA:  Danny Pomanto Lantik IKA Unhas Toraja

“Konsep pementasan ini adalah deklamasi puisi dengan dua karakter yang menggambarkan ketidakberdayaan dan perlawan perempuan yang terdampak pelecehan dan kekerasan seksual,” ujarnya.

Puisi Perempuan di Ujung Rambut dan Puisi Syair Jelita

PEREMPUAN DI UJUNG RAMBUT
Oleh : Mohamad Syahrul Barhun

Selama ini aku tak menyangka, laki-laki dan perempuan, dari tangisan rahim Tuhan yang sama
Ternyata, aku perempuan di ujung rambut, mengikat mata dan membangkitkan hasrat
di kursi kerja, aku dimangsa mata, bagai santapan yang mengenyangkan laki-laki seluruh abad
Perempuan, kerap disetubuhi dalam imajinasi
dari ayat-ayat suci, lak-laki melumat beribu belatung dan ulat-ulat, mengintai dada dan bibir
Tanganku mematung, mata berkedap-kedip tak tentu arah, sedangkan laki-laki, bernyanyi dalam
tubuhku dengan pikiran ilusi
Laki-laki bersenjata tanpa amunisi, mencabik-cabik tanpa menghampiri
Dada dan hatiku berlinang darah, aku hanya bisa menangis dalam hati, membasuh nadi-nadi yang
berdetak kencang
Aku tersedak, sekalipun dada dan hati menengadah langit darah,
Napasku seakan tersesat dalam rintih jeritan, terasa sesak, apa yang salah aku sebagai perempuan?
Kenapa? Kenapa tubuh ini terus dihinggapi hingga tak bersari lagi?
Aku tidak bisa berkata-kata dan bergerak sedikit pun, seakan ujung rambutku menyalahkan paras dan
pakaianku
Sedangkan mereka? Bergerak leluasa dan aku terkungkung tak berdaya, seperti bunga yang mekar
indah, disalahkan dari serangga yang mengambil sarinya!
Punggungku disentuh, seolah setiap sentuhannya membuat mulutku semakin terkunci rapat,
Dadaku diremas, seolah setiap remasannya membuat jeritan tangisan tanpa suara,
Telah menghitamkan hari-hariku yang lama
Selangkanganku, dijamah menambah ombak air mata kepedihan
Mencicipi dagingku hingga menjadikannya padam
Tolong! Tolong! Tolonglah aku!
Aku sudah setengah hidup, ragaku hidup, jiwaku mati
Aku sudah setengah hidup, ragaku hidup, jiwaku mati
Lalu, dimana keadilan bagiku, di mana? Aku sudah mencarinya di ujung celana dan kutangku, masih
tidak ada keadilan itu
Wahai keadilan, apakah kau juga akan tegak seperti penis laki-laki yang menatap dadaku?
Duhai dan undang-undang, apakah kau akan membela diriku seperti laki-laki itu membelah kemaluanku?
D i m a n a k e a d i l a n ?
Kenapa kausungguhpengecut?
Laki-laki memerkosatubuhku,
Keadilan juga memerkosa kemanusiaanku!Laki-laki memerkosatubuhku,
Keadilan juga memerkosa kemanusiaanku!Laki-laki memerkosatubuhku,
Keadilan juga memerkosa kemanusiaanku!
Jika tak ada keadilan itu,
Aku akan membakar tangan serta matanya, agar tak ada lagi yangtersakiti
Aku perempuan di ujung nyawa, menelanjangkanmu hingga pelir menetaskan dosa
Sungguh negeri ini sudah mati suri terhadap aku perempuan di ujung rambut,
Seakan hukum mengiyakan diriku di sini,
Mungkin karena aku hanya perempuan di ujung rambut,yang akan mati di ujung jalan.

BACA JUGA:  Bantah Konvoi di Makassar, PSM Tak Mau Berlebihan Selebrasi Juara

SYAIR JELATA
Oleh Mohamad Syahrul Barhun

Di sepanjang jalan, aku mendengar jeritan yang menderau di langit kota, sambil memegang karung
berisi hidup-hidupku yang payah, terus menopang hingga ujung jalan
Aku terus merangkak hingga tak seorang pun tahu, aku akan mati dengan sajak penuh derita, ketika
kutukan dalam pelupuk mata ini tak enggan dari benakku, yang selalu membayangi: “apakah aku
masih hidup di esok hari?”
Aku masih mengais-ngais sisa luka di jalanan, berzikir agar Tuhan tak melupakan, aku masih hidup
di tengah kabut risau ini
Bahkan aku lupa, mungkin aku sudah lama mati, karena orang-orang seolah melihat diriku sebatas
jelmaan roh yang bergentayangan mencari makan
Atau orang-orang di sini sudah lama buta ketika melihatku yang hampir telanjang dan bertubuh dekil?
Aku, jelata yang meniupkan sangkakala, ketika para mulai berzina di kaki jalan
Aku, jelata yang membaca syair jalanan, ketika ayat-ayat suci tak lagi menyadarkan
Aku, jelata yang merayakan kesengsaraan, ketika orang-orang menyalakan kembang dosa di ujung
tahun
Mereka yang menambang batu bara, sedangkan aku masih menyeringai dalam kegelapan
Mereka yang berpakaian rapi, sedangkan aku masih berlumuran kotoran dan debu-debu kota, hanya
untuk meringkus jiwa
Bahkan, ketika kardus menyelimuti lelapku, aku tetap merasakan kepedihan itu di dalam mimpi
Aku jelata, melihat muda memainkan gitar di sepanjang malam, bukan untuk mengamen, namun
ia hanya ingin mengalihkan perhatiannya dari kehidupan yang fana ini
Lantas, kenapa kita begitu bangga dengan pakaian mahal dan kehidupan yang hedon? Sedangkan
teman sekamarmu hampir mati kelaparan? Apakah kau tidak bertanya kepada tetanggamu sudah
berapa banyak ia rela menjual diri demi membayar dosa anaknya yang lalu?
Separuh jalan ini, pekik kesengsaraanku kian pecah, kebodohan manusia kian terang
KEMANUSIAAN itu, seperti gelebah kabut, semakinku masuki, semakin hilang
Orang-orang sedang asyik menatap piksel-piksel di layar ponsel mereka, merantai leher sendiri
seperti sekelebatan anjing!
Orang-orang berlomba-lomba merias wajahnya seperti badut, ketika luka-luka yang ku pungut di
tepian jalan masih terus memerah
Aku, jelata, sudah lelah di ujung jalan, sudah saatnya juga memulung nasib-nasib pribumi yang fakir,
menikam mati lalu membuang mereka di sumur abadi, agar kesakitan ini kian pergi
Aku, si jelata, sudah sampai di ujung jalan, tetap tak ku dapat KEMANUSIAAN itu
[]

Pos terkait